KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN
Kali ini penulis mendapat tugas membuat makalah dari dosen pemangku mata kuliah Ilmu Kalam. Yang berjudul “Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan. Seperti biasanya dan seolah-olah sudah menjadi norma bahwa diperkuliahan S1 sudah sewajarnya menjiplak-jiplak(hasil karya orang lain) isi dari makalah(tugas) yang diberikan dosen. Oleh karenanya dengan tanpa malu-malu penyusun pun akan menjiplak isi dari sebagian makalah ini. Menjiplak dari tulisan orang-orang yang punya kapasitas dalam bidang Ilmu Kalam ini, khususnya judul yang berkaitan dengan Kehendak Mutlak Tuhan.
Sebelumnya penyusun ingin katakan bahwa pembicaraan tentang Tuhan ini tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Tidak bermaksud bersikap sok tahu tentang Tuhan. Penyusun pun sadar bahwa sesungguhnya kita tidak pernah tahu persis Tuhan yang sebenarnya seperti apa. Ini kutipan dari Diktat Perkuliahan Antropologi yang diasuh oleh Bapak Julian Ashari, M.Ag, dalam kata pengantar diktatnya beliau menulis, “Siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya. Ungkapan ini menohok kepongahan kita yang berlagak mampu menjangkau Tuhan, padahal siapa diri ini pun kita tidak kenal. Bagaimana mungkin, kita begitu angkuh mengangkangi Tuhan di bawah perspektif teori, teologi & ideology kita tanpa sempat mencurigai bagaimana teori, teologi atau ideology itu ujug-ujug bercokol di kepala ini, lalu menjadi kacamata kita untuk melihat Tuhan dan realitas lain?”. Dari kutifan di atas terlihat bahwa ada upaya untuk tidak lantas berbangga diri/menyombongkan diri karena telah mampu memahami realitas yang dianggap paling sacral, yaitu Tuhan. Padahal, kita tidak pernah benar-benar, nyata dan terang melihat atau mengetahui Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan tentang Tuhan ini tidak lain hanya secuil saja, atau bisa saja itu bukanlah pengetahuan tentang Tuhan yang sebenarnya. Bisa jadi itu hanya ilusi yang diproduksi pikiran kita.
Namun, pembahasan Tuhan ini tidak lantas menjadi tidak penting. Karena kalimat Tuhan ada dalam teks(Al Quran) yang selama ini kita imani secara dogmatis-kaku. Penafsiran keagamaan seperti itu hanya efektif buat sebagian orang saja. Sebagian yang lain tidak dan mulai bertanya-tanya adakah bukti rasional tentang adanya Tuhan? Dari pertanyaan itulah kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan lain/ persoalan lain, tidak lagi hanya sekedar berbicara tentang ada-Nya. Ia sudah mulai merambah sisi lain yang berkaitan dengan Tuhan. Diantaranya mengenai Kehendak Mutlak Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini tidak semata-mata untuk memuaskan dahaga intelektual para terpelajar, ia juga dibutuhkan oleh umat karena diposisikan sebagai prinsif hidup sekaligus prinsif beragama.
Pembahasan mengenai tema di atas hanyalah pengulangan-pengulangan produk berpikir orang-orang pintar terdahulu. Jadi di sini penyusun hanya memaparkan saja pemikiran-pemikiran Kalam yang telah ada, seperti Mu’tazilah, Asy’ ariyah, dan Maturidiyah.
Pemilahan dari Buku Berjudul Teologi Islam
Buku Teologi Islam yang dimaksud ialah karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pemilahan ialah sebuah kata yang tidak asing digunakan dalam Buku Filsafat Umum yang ditulis oleh Bambang Qomaruzaman salah satu dosen Jurusan Aqidah Filsafat UIN SGD Bandung, atau biasa penulis sapa BQ. Term pemilahan dalam buku beliau berkaitan dengan cara berpikir analitik, yaitu sebuah cara berpikir yang beroprasi dengan cara memilah-milah sesuatu agar didapat kejelasan. Cara berpikir seperti ini berguna untuk kita melihat sesuatu yang tadinya samar dan tercampu baur. Memudahkan untuk kita mengenalinya, maka didapatlah sebuah pengetahuan dan kita dapat mudah mengingatnya.
Kaitannya dengan Buku Teologi Islam karya Prof. Dr. Harun Nasution ialah sebuah pemilahan dari sub bahasan yang berjudul Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan dalam bukunya. Dalam sub bahasan itu dibahas beberapa perspektif dari tiga aliran kalam dalam Islam, yaitu Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah. Nah, tiga perspektif ini yang akan penulis pilah-pilah menjadi sub judul dalam makalah ini, agar didapat sebuah kejelasan dari masing-masingnya. Meskipun cara ini tidak begitu penting karena berkaitan dengan daya nalar pembaca. Namun, ini berguna untuk melatih penulis mengaplikasikan hasil bacaannya ke dalam sebuah tulisan yang berbentuk makalah.
Perspektif Mu’tazilah
Di bawah ini saya akan kutifkan langsung tulisan Prof. Dr. Harun Nasution :
“Kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Al jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai nature dan sifat sendiri yang mempunyai efek tertentu menurut nature masing-masing. Lebih tegas Al Khayyat menerangkan bahwa tiap benda memiliki nature tertentu dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas, dan es tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu’ammar seperti gerak, diam, rasa, warna, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu.
Dari tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah.
Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada yang membawa pada kesusahan. Keadaan seorang mukmin atau seorang kafir tidak membawa pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sungguh pun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah menyalahi nature. Oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta : “Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Semua uraian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam faham Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batas-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak bersikap absolute seperti halnya Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan dalam faham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaan dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.”1)
Perspektif Maturidiyah
Ini adalah perspektif aliran Maturidiyah yang saya kutif langsung dari bukunya Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam.
“Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.
Dalam pada itu kiranya ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain Tuhan, karena di atas Tuhan tidak ada suatu zat pun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah di atas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.”2)
Perspektif Asy’ariyah
“Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguh pun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja Tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya.
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan di atas dapat pula dilihat dari faham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tak terpikul pada diri manusia, dan dari keterangan al-Asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk.
Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.” 3)
Faham Asy’ariah mengenai doa, sunatullah, serta surga & neraka pula berkait erat dengan pemahamannya terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Yaitu, Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. Karena sifat-Nya yang mutlak dan absolute itu maka Tuhan bisa memasukan orang mukmin ke dalam neraka atau orang kafir ke dalam surga asal Ia menghendaki-Nya. Tuhan bisa melanggar hukum-hukum yang telah di buat-Nya(sunatullah) di dunia. Selanjutnya, atas dasar itu pula melalui doa segala ketentuan Tuhan dapat diubah jika Tuhan menghendaki atau mengabulkan doa yang berdoa.
Kesimpulan
1. Bagi Mu’tazilah, Tuhan haruslah patuh kepada hukum-hukum yang Ia buat sendiri. Oleh karenanya terkesan Tuhan tak lagi memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya. Ini tidak terlepas dari upaya memahasucikan-Nya.
2. Sebaliknya bagi kaum Asy’ariah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tak berbatas atau tak ada yang membatasi-Nya. Oleh karenanya, Ia dapat merubah hukum yang sebelumnya Ia sudah tetapkan, asalkan Ia menghendaki-Nya.
3. Kaum Maturidi agaknya di sini mereka menempatkan fahamnya diantara Mu’tazilah dengan Asy’ariah. Menurut mereka Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya namun Ia juga tak bisa sewenang-wenang berkehendak.
1) Harun Nasution. Teologi islam. UIP. Jakarta. 1986
2) Nasution, Op.cit
3) Nasution, Op.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar